ASAL USUL dan FUNGSI
Asal-usul keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber
tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15,
meskipun penyebutan istilah "keris" telah tercantum pada
prasasti dari abad ke-9 Masehi. Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di
relief candi atau
patung. Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa
prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.
Asal-usul keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber
tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15,
meskipun penyebutan istilah "keris" telah tercantum pada
prasasti dari abad ke-9 Masehi. Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di
relief candi atau
patung. Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa
prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.
SEJARAH KERIS
Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi
pembuatan keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian
dari
Kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan.
Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuna dalam penggunaan senjata
tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui
kebudayaan Dongson
(Vietnam) yang merupakan "jembatan" masuknya pengaruh kebudayaan
Tiongkok ke Nusantara. Sejumlah keris masa kini untuk keperluan sesajian
memiliki gagang berbentuk manusia (tidak distilir seperti keris
modern), sama dengan belati Dongson, dan menyatu dengan bilahnya.
Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan
logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh
India, khususnya
Siwaisme. Prasasti Dakuwu (abad ke-6) menunjukkan
ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti
trisula,
kudhi,
arit, dan keris
sombro]. Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-
Singasari
dikenal sebagai "keris Buda", yang berbentuk pendek dan tidak berluk
(lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal (prototipe) keris.
[6]
Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan
dengan keris Buda dan keris sajen. Keris sajen memiliki bagian pegangan
dari logam yang menyatu dengan bilah keris.
PERKEMBANGAN FUNGSI KERIS
Pada masa kini, keris memiliki fungsi yang beragam dan hal ini ditunjukkan oleh beragamnya bentuk keris yang ada.
Keris sebagai elemen persembahan sebagaimana dinyatakan oleh
prasasti-prasasti dari milenium pertama menunjukkan keris sebagai bagian
dari persembahan. Pada masa kini, keris juga masih menjadi bagian dari
sesajian. Lebih jauh, keris juga digunakan dalam ritual/upacara mistik
atau paranormal. Keris untuk penggunaan semacam ini memiliki bentuk
berbeda, dengan
pesi menjadi hulu keris, sehingga hulu menyatu
dengan bilah keris. Keris semacam ini dikenal sebagai keris sesajian
atau "keris majapahit" (tidak sama dengan keris tangguh Majapahit)!.
Pemaparan-pemaparan asing menunjukkan fungsi keris sebagai senjata di
kalangan awam Majapahit. Keris sebagai senjata memiliki bilah yang
kokoh, keras, tetapi ringan. Berbagai legenda dari periode Demak–Mataram mengenal beberapa keris senjata yang terkenal, misalnya keris Nagasasra Sabukinten.
Laporan Perancis dari abad ke-16 telah menceritakan peran keris sebagai simbol kebesaran para pemimpin Sumatera (khususnya Kesultanan Aceh). Godinho de Heredia
dari Portugal menuliskan dalam jurnalnya dari tahun 1613 bahwa
orang-orang Melayu penghuni Semenanjung ("Hujung Tanah") telah
memberikan racun pada bilah keris dan menghiasi sarung dan hulu keris
dengan batu permata.
"Penghalusan" fungsi keris tampaknya semakin menguat sejak abad ke-19
dan seterusnya, sejalan dengan meredanya gejolak politik di Nusantara
dan menguatnya penggunaan senjata api.
Dalam perkembangan ini, peran keris sebagai senjata berangsur-angsur
berkurang. Sebagai contoh, dalam idealisme Jawa mengenai seorang
laki-laki "yang sempurna", sering dikemukakan bahwa keris atau
curiga menjadi simbol pegangan ilmu/keterampilan sebagai bekal hidup.
Berkembangnya tata krama penggunaan keris maupun variasi bentuk sarung
keris (warangka) yang dikenal sekarang dapat dikatakan juga merupakan
wujud penghalusan fungsi keris.
Berbagai cara mengenakan keris berdasarkan Kebudayaan Jawa.
Pada masa kini, kalangan perkerisan Jawa selalu melihat keris sebagai
tosan aji atau "benda keras (logam) yang luhur", bukan sebagai senjata. Keris adalah
dhuwung, bersama-sama dengan tombak; keduanya dianggap sebagai benda "pegangan" (
ageman)
yang diambil daya keutamaannya dengan mengambil bentuk senjata tikam
pada masa lalu. Di Malaysia, dalam kultur monarki yang kuat, keris
menjadi identitas kemelayuan.
Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda
misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai
tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Penempatan keris di depan
dapat diartikan sebagai kesediaan untuk bertarung. Selain itu, terkait
dengan fungsi, sarung keris Jawa juga memiliki variasi utama: gayaman
dan ladrang. Sementara itu, di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan
Filipina, keris ditempatkan di depan dalam upacara-upacara kebesaran.
Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi
pembuatan keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian
dari Kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan.
Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuna dalam penggunaan senjata
tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui kebudayaan Dongson
(Vietnam) yang merupakan "jembatan" masuknya pengaruh kebudayaan
Tiongkok ke Nusantara. Sejumlah keris masa kini untuk keperluan sesajian
memiliki gagang berbentuk manusia (tidak distilir seperti keris
modern), sama dengan belati Dongson, dan menyatu dengan bilahnya.
Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme. Prasasti Dakuwu (abad ke-6) menunjukkan ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti trisula,
kudhi, arit, dan keris
sombro. Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-Singasari
dikenal sebagai "keris Buda", yang berbentuk pendek dan tidak berluk
(lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal (prototipe) keris.
Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan
dengan keris Buda dan keris sajen. Keris sajen memiliki bagian pegangan
dari logam yang menyatu dengan bilah keris.
CARA PEMBUATAN KERIS
Logam dasar yang digunakan dalam pembuatan keris ada dua macam logam adalah logam
besi dan logam pamor, sedangkan pesi keris terbuat dari
baja. Untuk membuatnya ringan para Empu selalu memadukan bahan dasar ini dengan logam lain. Keris masa kini (
nèm-nèman, dibuat sejak abad ke-20) biasanya memakai logam pamor
nikel. Keris masa lalu (
keris kuna) yang baik memiliki logam pamor dari batu
meteorit yang diketahui memiliki kandungan
titanium yang tinggi, di samping nikel,
kobal,
perak,
timah putih,
kromium,
antimonium, dan
tembaga. Batu meteorit yang terkenal adalah meteorit Prambanan, yang pernah jatuh pada abad ke-19 di
kompleks percandian Prambanan.
Pembuatan keris bervariasi dari satu empu ke empu lainnya, tetapi
terdapat prosedur yang biasanya bermiripan. Berikut adalah proses secara
ringkas menurut salah satu pustaka. Bilah besi sebagai bahan dasar di
wasuh atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa berulang-ulang untuk membuang pengotor (misalnya
karbon
serta berbagai oksida). Setelah bersih, bilah dilipat seperti huruf U
untuk disisipkan lempengan bahan pamor di dalamnya. Selanjutnya lipatan
ini kembali dipanaskan dan ditempa. Setelah menempel dan memanjang,
campuran ini dilipat dan ditempa kembali berulang-ulang. Cara, kekuatan,
dan posisi menempa, serta banyaknya lipatan akan memengaruhi pamor yang
muncul nantinya. Proses ini disebut
saton. Bentuk akhirnya adalah lempengan memanjang. Lempengan ini lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut
kodhokan. Satu lempengan baja lalu ditempatkan di antara kedua
kodhokan seperti roti
sandwich, diikat lalu dipijarkan dan ditempa untuk menyatukan. Ujung kodhokan lalu dibuat agak memanjang untuk dipotong dan dijadikan
ganja. Tahap berikutnya adalah membentuk
pesi,
bengkek (calon gandhik), dan terakhir membentuk bilah apakah berluk atau lurus. Pembuatan luk dilakukan dengan pemanasan.
Tahap selanjutnya adalah pembuatan ornamen-ornamen (
ricikan) dengan menggarap bagian-bagian tertentu menggunakan
kikir,
gerinda, serta
bor, sesuai dengan
dhapur keris yang akan dibuat.
Silak waja
dilakukan dengan mengikir bilah untuk melihat pamor yang terbentuk.
Ganja dibuat mengikuti bagian dasar bilah. Ukuran lubang disesuaikan
dengan diameter pesi.
Tahap terakhir, yaitu penyepuhan, dilakukan agar logam keris menjadi
logam besi baja. Pada keris Filipina tidak dilakukan proses ini.
Penyepuhan ("menuakan logam") dilakukan dengan memasukkan bilah ke dalam campuran
belerang,
garam, dan perasan
jeruk nipis (disebut
kamalan).
Penyepuhan juga dapat dilakukan dengan memijarkan keris lalu dicelupkan ke dalam cairan (
air, air garam, atau minyak kelapa, tergantung pengalaman Empu yang membuat). Tindakan
penyepuhan harus dilakukan dengan hati-hati karena bila salah dapat membuat bilah keris retak.
Selain cara Penyepuhan yang lazim seperti diatas dalam penyepuhan
Keris dikenal pula Sepuh jilat yaitu pada saat logam Keris membara
diambil dan dijilati dengan lidah, Sepuh Akep yaitu pada saat logam
Keris membara diambil dan dikulum dengan bibir beberapa kali dan Sepuh
Saru yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dijepit dengan alat
kelamin wanita (Vagina) Sepuh Saru ini yang terkenal adalah Nyi Sombro,
bentuk kerisnya tidak besar tapi disesuaikan.
Pemberian warangan
dan minyak pewangi dilakukan sebagaimana perawatan keris pada umumnya.
Perawatan keris dalam tradisi Jawa dilakukan setiap tahun, biasanya pada
bulan
Muharram/
Sura,
meskipun hal ini bukan keharusan. Istilah perawatan keris adalah
"memandikan" keris, meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang
minyak pewangi lama dan
karat pada bilah keris, biasanya dengan cairan asam (secara tradisional menggunakan air buah
kelapa, hancuran buah
mengkudu, atau perasan jeruk nipis).
Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi warangan bila perlu untuk
mempertegas pamor, dibersihkan kembali, dan kemudian diberi minyak
pewangi untuk melindungi bilah keris dari karat baru. Minyak pewangi ini
secara tradisional menggunakan minyak
melati atau minyak
cendana yang diencerkan pada minyak kelapa.